Selasa, 23 Februari 2010

sopsiologi

Paradigma Sosiologi - Teori Sosiologi Tahap Awal


Thomas Kuhn dalam karyanya berjudul The Structure of Scientific Revolution memperkenalkan istilah Paradigma. Menurutnya, paradigma adalah satu kerangka referensi atau pandangan dunia yang menjadi dasar keyakinan atau pijakan suatu teori. Dalam buku itu Kuhn mejelaskan tentang perubahan paradigma dalam ilmu, dan menurutnya disiplin ilmu lahir sebagai proses revolusi paradigma. Bisa jadi, suatu pandangan teori ditumbangkan oleh pandangan teori yang baru yang mengikutinya. Pandangan ini kemudian dikembangkan secara sistematis dan integrated oleh George Ritzer dalam bukunya yang bertitelkan Sociology: A Multiple Paradigm Sci ence. Hanya saja, dalam penjelasan di bawah ini penulis tidak memakai buku asli versi Bahasa Inggrisnya, tapi cukup menggunakan buku h asil saduran Alimandan dalam versi terjemahan yang berjudul Sosiologi Ilmu Pengetahuan Berparadigma Ganda. Dalam buku itu, Ritzer memetakan tiga paradigma besar dalam disiplin sosiologi.

Paradigma pertama adalah Fakta Sosial. Paradigma ini dikembangkan oleh Emile Durkheim, seorang sosiolog “integ rasi sosial” asal Perancis, melalui dua karyanya, The Rules of Sociological Method (1895) dan Suicide (1897). Durkheim mempertegas bahwa pendekatan sosiologinya berseberangan dengan Herbert Spencer, yang menekankan pada “individualisme”. Spencer lebih tertarik pada perkembangan evolusi jangka panjang dari masyarakat-masyarakat modern, dan baginya, kunci untuk memahami gejala sosial atau gejala alamiah lainnya adalah hukum evolusi yang universal. Ada kemiripan pandangan Spencer dengan August Comte, “Bapak Sosiologi” dan pencetus “positivisme” dalam ilmu-ilmu sosial. Keduanya sama-sama ingin menerapkan teori evolusionisme pada alam dan biologi ke dalam wilayah kajian ilmu-ilmu sosial. Spencer lebih memperhatikan terhadap perubahan struktur sosial dalam mas yarakat, dan tidak pada perkembangan intelek tual.

Menurut paradigma ini, “Fakta sosial” menjadi pusat perhatian penyelidikan dalam sosiologi. Durkheim menyatakan bahwa fakta sosial itu dianggap sebagai barang sesuatu (thing) yang berbeda dengan ide. Ia berangkat dari realitas (segala sesuatu) yang menjadi obyek penelitian dan penyelidikan dalam studi sosiologi. Titik berangkat dan sifat analisisnya tidak menggunakan pemikiran spekulatif (yang menjadi khas fils afat), tapi untuk memahami realitas maka diperlukan penyusunan data riil di luar pemikiran manusia. Dan penelitian yang dihasilkannya pun bersifat deskripstif dan hanya berupa pemaparan atas data dan realitas yang terjadi. Fakta sosial terdiri atas dua tipe, yaitu struktur sosial (social structure) dan pranata sosial (social instistution). Menurut Ritzer, teori-teori yang mendukung paradigma fakta sosial ini adalah : Teori Fungsionalisme Struktural, Teori Konflik, Teori Sistem, dan Teori Sosiologi Makro. Teori Fungsionalisme Struktural dicetuskan oleh Robert K. Merton, yang menjadikan obyek analisa sosiologisnya adalah peranan sosial, pola-pola institusional, proses sosial, organisasi kelompok, pengendalian sosial, dan sebagainya. Penganut teori ini cenderung melihat pada sumbangan satu sistem atau peristiwa terhadap sistem lain, dan secara ekstrim beranggapan bahwa semua peristiwa atau struktur adalah fungsional bagi suatu masyarakat. Sedangkan Teori Konflik, yang tokoh utamanya adalah Ralp Dahrendorf, sebagai kebalikan dari teori pertama, meniti kberatkan pada konsep tentang kekuasaan dan wewenang yang tidak merata pada sistem sosial sehingga bisa menimbulkan konflik. Dan tugas utama dalam menganalisa konflik adalah dengan mengidentifikasi berbagai peranan kekuasaan dalam masyarakat.

Paradigma kedua adalah Definisi Sosial, yang dikembangkan oleh Max Weber untuk menganalisa tindakan sosial (social action). Bagi Weber, pokok persoalan sosiologi adalah bagaimana memahami tindakan sosial antar hubungan so sial, dimana “tindakan yang penuh arti” itu ditafsirkan untuk sampai pada penjelasan kausal. Untuk mempelajari tindakan sosial, Weber menganjurkan metode analitiknya melalui penafsiran dan pemahaman (interpretative understanding) atau menurut terminologinya disebut dengan verstehen. Paradigma ini dimasuki oleh tiga teori, yaitu Teori Aksi (dari Weber sendiri), Teori Fenomenologis yang dikembangkan oleh Alfred Schutz, dan Teori Interaksionalisme Simbolis yang tokoh populernya adalah G. H. Mead. Paradigma yang terakhir adalah Perilaku Sosial. Paradigma ini dikembangkan oleh B. F. Skiner dengan meminjam pendekatan behaviorisme dari ilmu psikologi. Ia sangat kecewa dengan dua p aradigma sebelumnya karena dinilai tidak ilmiah, dan dianggap bernuansa mistis. Menurutnya, obyek studi yang konkret-realistik itu adalah perilaku manusia yang nampak serta kemungkinan perulangannya (behavioral of man and contingencies of reinforcement). Skinner juga berusaha menghilangkan konsep volunterisme Parson dari dalam ilmu sosial, khususnya sosiologi. Yang tergabung dalam paradigma ini adalah Teori Behavioral Sociology dan Teori Exchange.

Dari ketiga paradigma di atas, Ritzer mengusulkan sebuah paradigma integratif yang menggabungkan kesemua paradigma di atas, yang kemudian disebut dengan istilah “Multi- Paradigma” (multi-paradigm). Ritzer menginga tkan bahwa penggunaan paradigma fakta sosial akan memusatkan perhatian pada makro masyarakat, dan metode yang dipakai adalah interpiu/kuesioner dalam penelitiannya. Sedangkan dalam paradigma definisi sosial lebih memusatkan perhatiannya kepada aksi dan interaksi sosial yang “ditelorkan” melalui proses berfikir, dan metodenya menggunakan model observasi dalam penelitian sosial. Dan jika paradigmanya adalah perilaku sosial maka perhatiannya dicurahkan pada “tingkah laku dan perulangan tingkah laku”, dan metode yang dipakai lebih menyukai model eksperimen. Ritzer kemudian menawarkan suatu exemplar paradigma yang terpadu, yang kuncinya adalah “tingkatan realitas sosial”, yaitu makro-obyektif, makro-subyektif, mikro-obyektif, dan mikro-subyektif.

Berbeda dengan Ritzer, Ilyas Ba-Yunus memb agi paradigma sosiologi ke dalam tiga bagian jug a, yaitu: paradigma struktural-fungsional, paradigma konflik, dan interaksionisme simbolik. Paradigma pertama digagas oleh para sosiolog Eropa, yaitu Max Weber, Emile Durkheim, Vilfredo Patero, dan yang pertama kalinya Talcott Parson. Paradigma ini didasarkan pada dua asumsi dasar: (1) masyarakat terbentuk atas substruktur-substruktur yang dalam fungsi mereka masing-masing, saling bergantungan, sehingga perubahan yang terjadi dalam fungsi satu substruktur, akan mempengaruhi pada substruktur lainnya, dan (2) setiap substruktur yang telah mantap akan menopang aktivitas-aktivitas atau substruktur lainnya. Teori ini dikritik karena mengabaikan peranan konflik, ketidaksepakatan, perselisihan dan evolusi dalam menganalisis masyarakat. Pendekatan ini diang gap juga mendukung status-quo (apa yang sudah ada itu adalah baik), dan orang kemudian menduga bahwa teori ini membenarkan dan memajukan struktur kapitalistis demokrasi Barat. Paradigma kedua adalah pendekatan yang dikembangkan oleh Karl Marx. Paradigma ini didasarkan pada dua asumsi, yaitu: (1) kegiatan ekonomi sebagai faktor penentu utama semua kegiatan masyarakat, dan (2) melihat masyarakat manusia dari sudut konflik di sepanjang sejarahnya. Marx, dalam Materialisme Histori s-nya memasukkan determinisme ekonomi sebagai basis struktur yang dalam proses relasi sosial dalam tubuh masyarakat akan menimbulkan konflik antara kelas atas dan kelas bawah.

Ketiga paradigma di atas memang menjadi dominan dalam kajian sosiologi. Tapi, untuk mempermudah bayangan kita tentang mana pendekatan yang utama maka di sini akan dibahas analisis Habermas dalam membagi paradigma ilmu-ilmu sosial, termasuk juga kategori sosiologis. Pertama, paradigma instrumental. Dalam paradigma “instrumental” ini, pengetahuan lebih dimaksudkan untuk menaklukkan dan m endominasi obyeknya. Paradigma ini sesungguhnya adalah paradigma positivisme, atau dekat dengan paradigma fungsional. Positivisme adalah aliran filsafat dalam ilmu sosial yang mengambil cara kerja ilmu alam dalam menguasai benda, dengan kepercayaan pada universalisme dan generalisasi. Untuk itulah, positivisme mensyaratkan pemisahan fakta dengan nilai (value) agar didapati suatu pemahaman yang obyektif atas realitas sosial. Kedua, paradigma intepretatif. Dasar dalam paradigma ini adalah fenomenologi dan herme neutik, yaitu tradisi filsafat yang lebih menekankan pada minat yang besar untuk memahami. Semboyannya adalah “biarkan fakta berbicara atas nama dirinya sendiri”. Yang ingin dicapai hanya memahami secara sungguh-sungguh, tapi tidak sampai pada upa ya untuk melakukan pembebasan. Prinsipnya tetapi bebas nilai, walaupun kelompok paradigma ini kontra dengan positivisme. Ketiga, paradigma kritik. Paradigma ini lebih dipahami sebagai proses katalisasi untuk membebaskan manusia dari segenap ketidakadilan. Prinsipnya sudah tidak lagi bebas nilai, dan melihat realitas sosial menurut perspektif kesejarahan (historisitas). Paradigma ini menempatkan rakyat atau manusia sebagai subyek utama yang perlu dicermati dan diperjuangkan. Positivisme telah menyebabkan determinisme dan dominasi irasional dalam masyarakat modern. Kelompok dalam paradigma ini biasanya diwakili oleh kalangan critical theory Madzhab Frankfurt.

Beberapa paradigma di atas memiliki kelemahan dan kelebihan tersendiri. Mengikuti pemikiran Ritzer yang menyatakan bahwa sosiologi itu adalah ilmu pengetahuan berparadigma ganda, maka sosiologi profetik, seperti yang pernah diklaim oleh Kuntowijoyo, menghubungkan perbedaan pada masing-masing paradigma tersebut. Paradigma yang diwakili oleh Emile Durkheim ternyata memiliki kelemahan karena fakta yang obyektif menjadi sangat rancu ketika nilai begitu dikesampingkan. Kerja penelitian sosial hanya bersifat deskriptif saja, sehingga hal demikian menimbulkan kemandulan dalam teoritisasi ilmu sosial. Pendekatan yang diwakili oleh Weber dengan verstehen -nya ternyata m asih menganggap fakta dan realitas sosial hanya sesuatu yang cukup dipahami, tapi tidak perlu ada upaya kritis untuk melihat bagaimana fakta dan realitas itu memiliki sejarah yang mesti dikritisi. Paradigma kritik, penulis yakin, akan lebih bisa berkesesuaian dengan pendekatan profetika dalam kajian sosiologi karena melihat masyarakat secara kritis dan perlu adanya keterlibatan aktif sosiolog dalam proses perubahan sosial.

Dengan prinsip “multi-paradigma” itulah, sosiologi profetik berkeinginan mencari kelebihan dari masing-masing paradigma, karena tidak mungkin di tengah persoalan yang sangat kompleks ini kita hanya berlandaskan pada satu teori at au satu paradigma saja. Kelebihan yang dimiliki pada paradigma fakta sosial, yang sangat terpengaruh oleh positivisme, adalah terletak pada netralitas dan obyektivitas. Tapi, kelemahannya tidak bisa melihat pada sisi historitas obyek kajian. Untuk itulah paradigma definisi sosial, atau yang bisa kita sebut sebagai paradigma intepretatif, bisa diadopsi sebagai sebuah paradigma ilmu untuk memahami kenyataan sosial. Proses memahami itu perlu memasukkan pendekatan hermeneutik dan fenomenologi agar realitas bisa didekati secara lebih mendalam. Dan barulah kemudian kita masuk pada pendekatan kritis untuk memahami dinamika masyarakat. Dan sosiologi pun tidak berhenti hanya sekedar sebagai ilmu deskriptif, tapi juga mampu melakukan perubahan sosial secara positif. Akhirnya, kita tidak lagi hanya berpatokan pada pengetahuan yang bebas nilai, tapi nilai menjadi bagian inherent dalam pengamatan sosial. Sosiologi profetik, pe nulis kira, sangat dekat dengan pendekatan ilmu sosial kritis, tapi hanya saja dalam sosiologi profetik “realitas kenabian” sebagai kerangka kerja ilmiah dipakai untuk memahami masyatakat. Sosiologi profetik juga tidak mengabaikan pentingnya analisis kultural yang menjadi bagian penting dalam realitas sosial.

Hampir mayoritas sosiolog akan berpendapat bahwa ilmu sosiologi menggunakan prinsip “value free” (bebas nilai) demi menjaga obyektivitas dan keilmiahan sebuah ilmu atau teori. Unsur nilai yang memasukkan asumsi subyektivitas k e dalam kajian sosiologi akan menyebabkan ketidakobyektifan sebuah gagasan. Kriteria yang menentukan apakah sebuah kajian itu ilmiah atau tidak ditentukan oleh bagaimana kemampuan seorang peneliti dalam memaparkan informasi secara obyektif. Tuntutan dalam prinsip bebas nilai adalah kegiatan ilmiah yang didasarkan pada hakikat ilmu pengetahuan itu sendiri. Artinya, tidak ada campur tangan eksteral di luar struktur obyektif sebuah pengetahuan. Obyektivitas hanya bisa diraih dengan mengandaikan ilmu pengetahuan yang bebas nilai (value-neutral). Untuk memahami perdebatan dalam persoalan prinsip “bebas-nilai” dalam ilmu-ilmu umumnya, kita sebaiknya mengkaji pembedaan ilmu berdasarkan ilmu yang teoritis dan praktis. Cita-cita ilmu teoritis adalah memberikan penjelasan tentang suatu realitas (kenyataan) tanpa sikap berpihak, dan tanpa dipengaruhi oleh hasrat dan keinginan tertentu. Jadi, pengetahuan yang ingin didapat adalah pengetahuan yang berasal realitas obyektif. Pengetahuan teoritis melukiskan kenyataan yang ada, dan sebatas pada deskripsi atas kenyataan itu, bukan justru melukiskan kenyatan yang dinginkan atau dikehendaki. Sedangkan pengetahuan yang praktis sudah masuk pada sikap bagaimana melakukan kerja teoritis itu yang kemudian menghasilkan pengetahuan yang kurang obyektif, yang berpihak pada kepentingan dan keinginan tertentu, yang tidak lagi disinterested. Dalam pengetahuan yang kedua ini persoalan nilai menjadi sesuatu yang pasti akan terjadi. Pengetahuan yang praktis ini terkandung dua makna, yaitu persoalan nilai dan kepentingan yang akan menimbulkan perdebatan dan pernyataan apakah pengetahuan itu bebas nilai dan tanpa adanya kepentingan.

Kalau dalam makna pengetahuan yang bebas nilai, sosiologi itu sekedar menjadi ilmu yang mendeskripsikan kenyataan obyektif, dan berputar pada persoalan teoritis. Tidak ada campur tangan seorang peneliti dalam kajian dan pengamatannya. Di sinilah kemudian ada cap yang teralamatkan pada pengetahuan dengan makna demikian sebagai pengetahuan yang tidak perlu memecahkan masalah karena jika sudah seperti itu maka persoalan nilai dan kepentingan pasti akan masuk. Menurut Ilyas Ba-Yunus, jika kita teliti sumbangan-sumbangan para pelopor sosiologi modern yang kini dianggap klasik, ternyata terlihat bagaimana mereka melakukan penilaian-penilaian tentang fenomena-fenomena yang dikajinya walaupun dengan klaim tetap berprinsip netralitas nilai. Ia menunjuk Weber ketika menyebut kapitalisme yang terorganisasi secara birokratis itu ternyata dilengkapi dengan semacam kepentingan (self-importa nce), Durkheim yang menjelaskan bunuh diri dari sudut kejahatan juga berusaha untuk mencari pemecahannya, dan Agust Comte yang sangat dikenal sebagai pelopor positivisme dalam sosiologi mengklaim bahwa ilmu yang digagasnya itu dapat memecahkan masalah. Jadi, tidak bisa semata-mata itu bebas nilai, pasti ada campur tangan nilai dan kepentingan ke mana arah manfaat dan tujuan sebuah ilmu. Atau ilmu itu tidak semata-mata teoritik, tapi juga terkandung kegunaan praktisnya. Dalam hal ini sosiologi profetik tidak hanya terpaku pada ilmu teoritik saja, tapi juga bersifat praktis.

Berbicara soal kepentingan, Habermas menyebut ada tiga kepentingan kognitif yang bertengger di balik ilmu pengetahuan dalam tiga bidang keilmuan: ilmu alam, ilmu-ilmu historis-hermenutis, dan ilmu-ilmu kritis. Dalam ilmu alam yang berikhtiar menemukan hukum alam, akhirnya ada upaya penguasaan teknis atas proses-proses yang dianggap obyektif. Ilmu historis-hermeneutis tidak disusun secara deduktif dengan acuan kontrol teknis, tapi yang dilakukannya adalah menafsirkan teks dengan kepentingan mencapai saling pengertian dan konsensus. Sedangkan pada ilmu-ilmu kritis yang dikandungnya adalah kepentingan kognitif emansipatoris yang dilakukan lewat jalan reflek si diri seorang ilmuan. Dengan demikian Habermas menapik asumsi banyak kalangan dengan mengatakan bahwa pengetahuan itu tidak mungkin berdiri tanpa kepentingan apapun, walaupun tetap diakuinya bahwa pengetahuan itu tidak boleh membiarkan subyektivitas mendominasi.

Lalu, Habermas membuat lima butir tesis dalam teorinya atas pengetahuan. Pertama, pencapaian-pencapaian subyek transedental memiliki dasar dalam sejarah amalam spesies manusia. Kedua, pengetahuan berlaku sebagai al at pertahanan diri sekaligus melampaui pertahanan diri semata-mata. Ketiga, kepentingan-kepentingan kognitif manusia itu berada pada tiga medium organisasi sosial, yakni: kerja, bahasa, dan kekuasaan. Keempat, di dalam kekuatan refleksi diri, pengetahuan dan kepentingan menyatu. Dan yang kelima, kesatuan antara pengetahuan dan kepentingan dapat dibuktikan dalam suatu dialektika yang memiliki jejak-jejak sejarahnya dari dialog yang ditindas dan merekonstruksi apa yang telah ditindas. Dengan kelima tesis ini Habermas menghujamkan kritikannya terhadap positivisme dan sainstisme. Artinya, ia mengkritik kenaifan ilmu pengetahuan yang bernafsu mencari teori murni yang bebas dari opini-opini subyektif, tendensi-tendensi, penilaian moral, dan kepentingan lain nya.

Prinsip bebas nilai dalam ilmu pengetahuan itu menafikan adanya “historisisme” yang sangat menentukan bagaimana konstruksi atas pengetahuan itu. Jika dilihat menurut kacamata sosiologi pengetahuan maka sesunggunya ilmu itu tidak bebas nilai, tapi sangat terkait dengan konteks historis kemunculannya. Max Scheler dan Karl Mannheim, dari aliran sosiologi pengetahuan, menentang ide mengenai ilmu-ilm u sosial yang bebas nilai. Keduanya menyatakan bahwa pikiran, bahkan pikiran logis para ilmuan sekalipun, dibentuk secara historis dan itu, baik disadari atau tidak, sedang merefleksikan kebudayaan mereka sendiri dan perspektif sosial yang mereka adopsi. Seorang ilmuan memang harus mengatasi prasangka-prasangka mereka dengan memperbaiki kadar kualitas pembacaan mereka atas realitas, dengan berpangkal pada obyektivitas, tapi pada saat yang sama mereka harus mengklarifikasi asumsi-asumsi yang mendasar, memahami lokasi-lokasi sosial mereka sendiri dalam masyarakat, dan juga secara kriti s mempertanyaan cita-cita sosial yang ada di masyarakat. Jadi, konstruksi berpikir seorang ilmuan tidak bisa terlepas dari konteks historisnya, yang itu kemudian menuntut dirinya mampu memahami nilai-nilai yang terkandung di dalamnya.

Ideal pengetahuan obyektif Abad Pencerahan “membasmi” semua pra-pendapat subyektif untuk membentuk suatu pendekatan yang “netral” dan “obyektif”. Hal ini dimaksudkan agar terbebas dari bias-bias emosional, afektif, dan pribadi, dengan mengunggulkan akal dan metodologi yang logis sebagai jalan menuju pencerahan. Pengetahuan yang dihasilkan seperti ini adalah akibat historis yang terkondisikan oleh faktor-faktor sosio-kultural dengan bangkitnya pemikiran Abad Pencerahan. Berkebalikan dar i nuansa abad itu, Gadamer menegaskan kembali pentingnya tradisi dan prasangka dalam memahami segala sesuatu. Seorang ilmuan tidak bisa terlepas dari batas-batas tradisinya. Tradisi sangat terkait dengan prasangka yang melatarbelakangi penafsiran kita atas realitas. Pentingnya tradisi dan prasangka ini menjadi upaya yang dilakukan oleh Gadamer dalam hermeneutikanya. Memahami (understanding) terkondisikan oleh masa lalu (“tradisi” kita) dan prasangka kita pada saat sekarang. Yang ingin ditekankan oleh Gadamer adalah pentingnya tradisi sebagai sebuah faktor yang mengkondisikan dan menjaid batas yang jelas dalam cara-cara di mana orang menafsirkan teks. Dalam proses menafsirkan itu, menurut Gadamer, pasti melibatkan proyeksi nilai, kepentingan, dan agenda seseorang ke dalam teks. Dalam perspektif Gadamerian, “kebenaran” itu tid ak pernah final, definitif atau obyektif, karena terkondisikan historisnya. Kata Gadamer, orang tidak dapat memahami sesuatu tanpa menghubungkannya dengan “ke-ada-an dirinya sendiri di dunia”. Konsep penafsiran obyektif dan bebas nilai menjadi problematis untuk diterapkan secara pasti. Maka, ketika kita memahami teks maupun juga realitas, yang terjadi justru “relativisme”, bukan universalisme dan absolutisme kebenaran. Apa yang ingin diraih dalam netralitas nilai untuk mencapai obyektivitas dan keilmiahan sebuah ilmu menjadi absurd. Seorang ahli sosiologi secara normal memang mempunyai banyak nilai, tapi dalam batas-batas kegiatannya sebagai seorang ahli sosiologi hanya ada satu nilai f undamental, yaitu integritas ilmiah. Jadi, nilai yang dimaksud adalah integritas seorang sosiolog dalam mencapai pengetahuan yang obyektif.
http://ilhamfadli.blogspot.com/2009/02/paradigma-sosiologi-teori-sosiologi.html


PARADIGMA DI DALAM TEORI-TEORI ILMU SOSIAL

A. PARADIGMA FAKTA SOSIAL
Fakta sosial inilah yang menjadi pokok persoalan penyelidikan sosiologi. Fakta sosial dinyatakan oleh Emile Durkheim sebagai ‘barang sesuatu’ (thing) yang berbeda dengan ide. Barang sesuatu menjadi objek penyelidikan dari seluruh ilmu pengetahuan. Ia tidak dapat dipahami melalui kegiatan mental murni (spekulatif). Tetapi untuk memahaminya diperlukan penyusunan data riil diluar pemikiran manusia. Fakta sosial ini menurut Durkheim terdiri atas dua macam :
1. Dalam bentuk material : Yaitu barang sesuatu yang dapat disimak, ditangkap, dan diobservasi. Fakta sosial inilah yang merupakan bagian dari dunia nyata contohnya arsitektur dan norma hukum.
2. Dalam bentuk non-material : Yaitu sesuatu yang ditangkap nyata (eksternal). Fakta ini bersifat inter subjektif yang hanya muncul dari dalam kesadaran manusia, sebagai contoh egoisme, altruisme, dan opini.
Pokok persoalan yang harus menjadi pusat perhatian penyelidikan sosiologi menurut paradigma ini adalah fakta-fakta sosial. Secara garis besar fakta sosial terdiri atas dua tipe, masing-masing adalah struktur sosial dan pranata sosial. Secara lebih terperinci fakta sosial itu terdiri atas: kelompok, kesatuan masyarakat tertentu, sistem sosial, peranan, nilai-nilai, keluarga, pemerintahan dan sebagainya. Menurut Peter M.Blau ada dua tipe dasar dari fakta sosial :
1. Nilai-nilai umum ( common values )
2. Norma yang terwujud dalam kebudayaan atau dalam subkultur.
Ada empat varian teori yang tergabung ke dalam paradigma fakta sosial ini. Masing-masing adalah :
1. Teori Fungsionalisme-Struktural, yaitu teori yang menekankan kepada keteraturan (order) dan mengabaikan konflik dan perubahan-perubahan dalam masyarakat. Konsep-konsep utamanya adalah : fungsi, disfungsi, fungsi laten, fungsi manifestasi, dan keseimbangan.
2. Teori Konflik, yaitu teori yang menentang teori sebelumnya (fungsionalisme-struktural) dimana masyarakat senantiasa berada dalam proses perubahan yang ditandai oleh pertentangan yang terus menerus diantar unsur-unsurnya.
3. Teori Sistem, dan
4. Teori Sosiologi Makro
Dalam melakukan pendekatan terhadap pengamatan fakta sosial ini dapat dilakukan dengan berbagai metode yang banyak untuk ditempuh, baik interviu maupun kuisioner yang terbagi lagi menjadi berbagai cabang dan metode-metode yang semakin berkembang. Kedua metode itulah yang hingga kini masih tetap dipertahankan oleh penganut paradigma fakta sosial sekalipun masih adanya terdapat kelemahan didalam kedua metode tersebut.


B. PARADIGMA DEFINISI SOSIAL
Paradigma pada definisi ini mengacu pada apa yang ditegskan oleh Weber sebagai tindakan sosial antar hubungan sosial. Inti tesisnya adalah “ tindakan yang penuh arti “ dari individu. Yang dimaksudkannya adalah sepanjang tindakannya itu mempunyai makna atau arti subyektif bagi dirinya dan diarahkan kepada tindakan orang lain. Ada tiga teori yang termasuk kedalam paradigma definisi sosial ini. Masing-masing : Teori Aksi (action theory), Interaksionisme Simbolik (Simbolik Interactionism), dan Fenomenologi (Phenomenology).
Ketiga teori di atas mempunyai kesamaan ide dasar, yaitu manusia adalah merupakan aktor yang kreatif dari realitas sosialnya. Selain itu dalam ketiga pembahasan ini pula mempunyai cukup banyak kebebasan untuk bertindak di luar batas kontrol dari fakta sosial itu. Sesuatu yang terjadi didalam pemikiran manusia antara setiap stimulus dan respon yang dipancarkan, menurut ketiga teori ini, merupakan hasil tindakan kreatif manusia. Dan hal inilah yang menjadi sasaran perhatian paradigma definisi sosial. Sehingga secara umum dapat dikatakan bahwa penganut ketiga teori yang termasuk kedalam paradigma definisi sosial ini membolehkan sosiolog untuk memandang manusia sebagai pencipta yang relatif bebas didalam dunia sosialnya.
Disini pula terletak perbedaan yang sebenarnya antara paradigma definisi sosial ini dengan paradigma fakta sosial. Paradigma fakta sosial memandang bahwa perilaku manusia dikontrol oleh berbagai norma, nilai-nilai serta sekian alat pengendalian sosial lainnya. Sedangkan perbedaannya dengan paradigma perilaku sosial adalah bahwa yang terakhir ini melihat tingkahlaku mansuia sebagai senantiasa dikendalikan oleh kemungkinan penggunaan kekuatan (re-enforcement).


C. PARADIGMA PERILAKU SOSIAL
Seperti yang dipaparkan pembahasan sebelumnya, bahwa paradigma ini memiliki perbedaan yang cukup prinsipil dengan paradigma fakta sosial yang cenderung perilaku manusia dikontrol oleh norma. Secara singkat pokok persoalan sosiologi menurut paradigma ini adalah tingkahlaku individu yang berlangsung dalam hubungannya dengan faktor lingkungan yang menghasilkan akibat-akibat atau perubahan dalam faktor lingkungan menimbulkan yang berpengaruh terhadap perubahan tingkah laku. Jadi terdapat hubungan fungsional antara tingkah laku dengan perubahan yang terjadi dalam lingkungan aktor.
Penganut paradigma ini mengaku memusatkan perhatian kepada proses interaksi. Bagi paradigma ini individu kurang sekali memiliki kebebasan. Tanggapan yang diberikannya ditentukan oleh sifat dasar stimulus yang dating dari luar dirinya. Jadi tingkahlaku manusia lebih bersifat mekanik dibandingkan dengan menurut pandangan paradigma definisi sosial.
Ada dua teori yang termasuk kedalam paradigma perilaku sosial.
1. Behavioral Sociology Theory, teori ini memusatkan perhatiannya pada hubungan antara akibat dari tingkahlaku yang terjadi di dalam lingkungan aktor dengan tingkahlaku aktor, khususnya yang dialami sekarang oleh si aktor.
2. Exchange Theory, teori ini dibangun dengan maksud sebagai rekasi terhadap paradigma fakta sosial, terutama menyerang ide Durkheim secara langsung dari tiga jurusan:
•Pandangannya tentang emergence
•Pandangannya tentang psikologi
•Metode penjelasan dari Durkheim
Paradigma perilaku sosial ini dalam penerapan metodenya dapat pula menggunakan dengan dua metode sebelumnya yaitu kuisioner, interview, dan observasi. Namun demikian, paradigma ini lebih banyak menggunakan metode eksperimen dalam penelitiannya


Sosiologi Ilmu Pengetahuan Berparadigma Ganda
Sosiologi Ilmu Pengetahuan Berparadigma Ganda
(Sebuah Resume atas karya George Ritzer)
Oleh: Andik Nurcahyo
Ketika membaca judul buku ini, petanyaan pertama yang muncul mengapa sosiologi disebut sebagai ilmu pengetahuan yang berparadigma ganda ?. Disebut berparadigma ganda karena sosiologi dalam setiap memandang fenomena sosial yang terjadi mempunyai beberapa paradigma dimana setiap paradigma mempunyai pendefinisian, exemplar, teori-teori, metode-metode dan ahli pemikir yang berbeda pula. Perbedaan paradigma ini disebabkan oleh faktor perbedaan pandangan filsafat yang mendasari pemikiran masing-masing para ahli yang merintisnya, perbedaan filsafat ini yang membawa konsekwensi terhadap perbedaan teori-teori yang dibangun pada masing-masing paradigma, dan pada akhirnya metode yang dipakai memahami dan menerangkan subyek-matternyapun sangat berbeda. Memang sejak lahir dan berkembangnya ilmu sosiologi ini sangat syarat dengan pergolakan intern yang menegangkan pada ahli dan tokoh-tokoh penganutnya. Jadi inilah yang disebut Ritzer sebagai A Multiple Paradigm Science yang kemudian diterjemahkan oleh Alimanda
sebagai Paradigma Ganda. Sebenarnya kalau melihat penjelasan buku ini dimana ada tiga paradigma dan tiap paradigma mempunyai beberapa teori, maka paradigma ganda kurang tepat untuk mewakili kata A Multiple karena menurut Ritzer sendiri (pada babI) adalah sosiologi itu terdiri atas kelipatan beberapa paradigma, Sementara ganda dalam kosakata kita identik dengan dua atau doubel.
Tentang paradigma itu sendiri, Ritzer memberi penjelasan bahwa paradigma adalah pandangan yang mendasar dari ilmuwan tentang apa yang menjadi pokok persoalan yang semestinya dipelajari oleh suatu cabang disiplin ilmu pengetahuan. Paradigma menggolong-golongkan, mendefinisikan, dan mengubung-hubungkan antara exsemplar, teori-teori, metode serta peralatan analisis yang terkandung didalammya. Dalam bukunya Ritzer merinci dalam cabang ilmu sosiologi terdapat 3 paradigma yang tiap paradigma mempunyai exsemplar, bangunan teori dan metode serta instrument yang digunakan untuk menganalisis.
Secara garis besar penjelasan Ritzer dapat kita lihat pada tabel berikut:
Ilmu Sosiologi


Paradigma Tokoh Utama Exemplar dan pokok persoalan Teori-teori metode
Fakta Sosial Emile Durkheim Structur makro sosial dan pranata sosial 1. Fungsionalis Structuralis
2. Konflik
3. Sistem
4. Sosiologi makro Kuisioner dan interview
Definisi Sosial Max Weber Aksi dan interaksi sosial 1. Aksi
2. Interaksionis Simbolik
3. Fenomenologi Observasi dengan 4 tipe:
1. Participant observation
2. Partisipant as observer
3. Observes as participant
4. Complete observer
Perilaku Sosial B.F. Skinner Tingkahlaku dan perulangan tingkahlaku 1. Behavioral Sociology
2. Exchange Experimental
Terkadang juga menggunakan kuisioner, interview dan observasi
Dari ketiga paradigma diatas meskipun dalam kemunculan dan perkembangan awalnya sempat terjadi gejolak dan saling serang antar penganut paradigma, namun dalam perkembangan selanjutnya para ahli banyak yang berusaha membebaskan diri dari pembagian paradigma secara extrim tersebut. Menurur Ritzer sebenarnya perbedaan antara ketiga paradigma diatas hanya bersifat estetis dimana perbedaan itu terdapat pada pengalaman peneliti dilapangan serta adanya perbedaan yang hanya bersifat sugestif (bukan extrim) tentang tiga variabel (berdasatkan penelitian Brown dan Gilmartin) , yaitu sebagai berikut:
Variabel Paradigma
Individu
Individu—Group
Group Perilaku Sosial
Definisi Sosial
Fakta Sosial
Tahap ini ditandai dengan munculnya tokoh-tokoh yang berusaha mmbuat jembatan paradigma dalam sosiologi misal Durkheim, Weber, Marx, Parsons. Apabila Durkheim, Weber, Marx berusaha menjembatani antara paradigma fakta sosial dan dan definisi sosial (lihat babII), sedangkan Parsons berbicara tentang menyatukan ketiga paradigma diatas, ia juga mengintegrasikan pandangan psikologi dari penganut Freud dan aliran antropologi dan ia cenderung bergerak dari satu paradigma ke paradigma yang lain. Perdamaian paradikmatik dan teoritis juga ditandai dengan berakhirnya pertentangan antara teori konflik dengan teori fungsionalis strukturalis bila dilihat dengan konsep paradigma akan ditemukan sejumlah kesamaan asumsi dan perspektif. Sehingga dapat disimpulkan bahwa perbedaan yang ada dalam ketiga paradigma diatas dan kedua teori diatas bukan merupakan perbedaan yang mendasar. Menginggat tiada satu paradigma yang berdiri tanpa kelemahan dan akibat negatif selama ini oleh “perang paradigma”, maka dari itu upaya besar kemungkinan untuk membuat paradigma terpadu dengan tujuan akhir memantapkan dan demi kemajuan ilmu Sosiologi.
Adanya jembatan paradigma dan perdamaian paradigma mendorong Ritzer untuk membentuk paradigma terpadu. Pembentukan paradigma terpadu yang diusahakan Ritzer berdasarkan ahli-ahli terdahulu, utamanya dari Kuhn dan para tokoh penjembatan paradigma (Durkheim, Weber, Marx, Parsons).
Diawali oleh uraian Kuhn tentang konsep paradigma dan penjelasan bahwa tiada paradigma itu yang dominan diantara paradigma yang lain karena perkembangan ilmu pengetahuan bukannya bersifat kumulatif melainkan bersifat revolusi:
Paradigma I —>Normal Sc. —>Anomalies —>Crisis —>Revolusi —> Paradigma II
Selanjutnya paradigma terpadu yang disusun Ritzer dari tokoh penjembatan paradigma adalah dia mengangkat model “tingkatan realitas sosial” untuk menerangkan kompleksibilitas yang sangat luas dalam subjek-matter sosiologi, maka model ini merupakan abstraksi dalam berbagai tingkat kepentingan analisa dan lebih merupakan suatu konstrak sosiologis daripada keadaan sebenarnya. Tingkatan realitas sosial dapat diperoleh dari inter-relasi antara dua kontinum sosial, yaitu makroskopik – mikroskopik dan kontinum obyektif – subyektif untuk mengacu apakah sesuatu itu nyata atau didalam alam ide. Gambaran tingkatan umum realitas sosial dapat dilihat dalam bagan berikut:

January 27, 2008 | Filed Under Metodologi, Review, Umum


Teori Sosiologi Modern
MANUSIA adalah masyarakat dalam bentuk miniatur. Ketika dia berkomunikasi dengan dirinya sendiri, dia bisa menjadi subyek dan sekaligus obyek. Dalam komunikasi itu pula, manusia berpikir, menunjuk segala sesuatu, menginterpretasikan situasi, dan berkomunikasi dengan dirinya sendiri dengan cara-cara berbeda.
Berpikir berarti berbicara kepada diri sendiri, sama seperti cara kita berbicara dengan orang lain. Percakapan dengan diri sendiri sebagian besar dilakukan dengan diam. Tanpa diri sendiri, manusia tidak akan mampu berkomunikasi dengan orang lain, sebab hanya dengan itu, maka komunikasi efektif dengan orang lain bisa terjadi.
Dari situ akan terdapat banyak ‘arti’. Individu yang menyampaikan ‘arti’ pada dirinya sendiri, pada saat itu juga ia memberikan ‘arti’ pada orang lain. Perasaan terhadap diri seseorang dibentuk dan didukung oleh respon orang lain. Jika seseorang konsisten menunjukkan dirinya dalam pelbagai perbedaan, maka dia juga harus menerima perlakuan orang lain sesuai yang dia berikan padanya.
Jika seseorang secara konsisten ditertawakan dan diremehkan, maka tampaknya tak ada sesuatu yang lain yang dia anggap pada dirinya kecuali bahwa dirinya memang rendah. Jika seseorang kerap diabaikan –terutama di dalam situasi di mana dirinya minta untuk diperhatikan–, maka dia akan sangat yakin bahwa dirinya memang benar-benar tak berguna. Dan inilah yang dibincangkan dalam dalam teori interaksionisme simbolis.
Riyadi Soeprapto (2002), “Teori Interaksionisme Simbolik, Perspektif Sosiologi Modern” (241 Hlm)
http://www.averroespress.net/press-corner/katalog-buku/326-teori-interaksionisme-simbolik-perspektif-sosiologi-modern.html
1. Positivisme memilikin beberapa ciri-ciri, yaitu:
a. Membahas segala sesuatu berdasarkan apa yang sebenarnya dan dapat dirasakan oleh panca indra.
b. Membahas melalui pengalaman dan kebenarannya bisa dibuktikan secara ilmiah.
c. Fakta yang ada tidak berkaitan dengan nilai.
d. Objek memiliki nilai dan manfaat
2. Kelemahan konvensionalisme adalah diantaranya konvensionalisme dianggap berlawanan dengan real atau kenyataan dan hanya melihat melalui makna, ide dan intepretasi. Maka teori ini dapat dikatakan teori yang bersifat ilusionis karena hanya memikirkan makna yang terkandung saja. Teori ini juga selalu dapat berubah-ubah menyesuaikan perkembangan jaman.
3. Realisme adalah suatu aliran atau paham yang berpendapat bahwa inti dari segala sesuatu berdasarkan dengan kenyataan yang ada.
4. Konvensionalisme sendiri melihat segala sesuatu berdasarkan pada makna, ide dan intepretasi. Sedangkan positivisme melihatnya berdasarkan kenyataan saja. Maka menurut konvensionalisme, positivisme dianggap tidak dapat melihat makna dibalik kenyataan itu sendiri. Positivisme hanya dapat melihat suatu masalah melalui konsep, teori dan hukum.
5. Menurut Anthony Giddens, modernitas ialah suatu tatanan pasca masyarakat tradisional, meski di dalamnya keyakinan yang diperoleh dari pengetahuan rasional belum menggeser kemantapan dan kedamaian jiwa yang diperoleh dari tradisi dan norma-normanya. Sedangkan menurut istilah modernitas yaitu adanya perubahan dengan memperhatikan adanya perubahan jaman, sosial, ekonomi dan budaya.
Ciri-ciri modernitas adalah linier, sirkuler dan alam sebagai objek sedangkan manusia sebagai objek
6. Manusia dapat menemukan modernisasi saat manusia sudah sadar bahwa dirinya sebagai subjek yang berfikir. Namun modernitas cenderung menempatkan manusia hanya sebagai objek dan bukan subjek. Manusia bukan lagi sebagai pelaku perubahan dalam pusaran modernisasi tersebut. Tapi lebih sering terseret dalam jaring-jaring modernisasi yang menumpulkan kesadaran kritisnya.
7. Rasio dapat menciptakan modernitas. Dimana dengan rasio yang kuat dapat dikembangkan ilmu pengetahuan dan teknologi yang kemudian menjadi sarana untuk menciptakan kehidupan yang sejahtera untuk memajukan rakyat banyak. Namun rasio yang berlebihan juga dapat berpengaruh buruk. Maka harus diseimbangkan antara rasio dan rasa.
8. Akal budi pencerahan disebut juga sebagai nalar. Akal budi pencerahan adalah usaha dari manusia untuk mencapai pengertian rasional dirinya dan makna emasipatoris (pembebasan manusia berdasarkan kedaulatannya).
9. Kritik Horkheimer dan Adorno mengenai akal budi pencerahan, dimana pencarian akan akal budi pencerahan ini akan membuat pengaruh jangka panjang yang buruk seperti rasionalitas dan penindasan serta menetang hak asasi. Pencerahan tersebut hanya dapat dinikmati oleh dirinya sendiri. Pencerahan merupakan proyek penyingkiran mitos-mitos dalam akal budi telah melahirkan cara berfikir yang disebut rasio kritis.
10. Menurut Horkheimer, teori tradisional merupakan teori ideologis. Dimana teori ini berusaha untuk memecahkan segala fenomena dan masalah yang ada. Teori ini bersifat netral, ahistori dan tidak adanya kesatuan antara teori dan praxis.
Contoh teori tradisional adalah teori suicide (bunuh diri) yang dikemukakan oleh Emile Durkheim. Karena teori ini hanya mengupas luarnya saja, tidak sampai begitu mendalam.
11. Teori kritis adalah sebuah perspektif teoritis yang elektik dan sumber pemikirannya bisa diambil dari pemikir-pemikir sebelumnya dan disatukan dengan teoritis yang sama. Teori kritis lebih kepada mengkritisi dan mencari kelemahan dari suatu teori untuk kemudian diformulasikan menjadi teori yang kuat.
12. Kritik (dalam KBBI) adalah kecaman atau tanggapan, kadang-kadang disertai uraian dan pertimbangan baik buruk terhadap suatu hasil karya, pendapat, dsb. Kata kritik diturunkan dari bahasa Yunani Kuno yaitu krités, artinya “orang yang memberikan pendapat beralasan” atau “analisis”, “pertimbangan nilai”, “interpretasi”, atau “pengamatan”.
13. Akal budi instrumental adalah akal budi atau rasio yang menekankan diri sebagai alat sarana demi membuahkan guna.
14. Menurut Horkheimer dilema usaha rasional manusia itu adalah terbenamnya akal budi objektif dan digantikan akal budi yang melulu instrumentalis. Dimana manusia mencoba sadar dan mencari rasionalitas untuk mencapai suatu tujuan secara terus menerus namun pada akhirnya manusia tersebut hanya kembali kepada irrasionalitas.
15. Strukturalisme adalah sebuah pemikiran filsafat yang menyatakan bahwa seluruh organisasi manusia ditentukan secara luas oleh struktur sosial atau psikologi. Strukturalisme merupakan krangka berfikir dari banyak pemikiran-pemikiran modern.
Contoh konkrit dari strukturalisme adalah sistem bahasa di masyarakat.
16. Menurut Foucault, pengetahuan adalah bagian dari strategi kuasa, sehingga dengan sendirinya bersifat subyektif. Pengetahuan adalah keinginan untuk tahu / mengetahui yang berkaitan dengan proses dominasi atas obyek-obyek yang berkaitan dengan manusia.
17. Foucault mengemukakan bahwa pengetahuan dilahirkan atas kuasa. Namun kuasa sendiri mempunya efek kuasa. Dimana kuasa berkembang sesuai dengan perkembangan kuasa.
18. Fungsi arsip : mengumpulkan pernyataan-pernyataan untuk dapat dibakukan.
Fungsi regulasi : membuat norma-norma dari arsip yang sesuai dengan masyarakat.
Fungsi normalisasi: menyesuaikan antara norma dengan masyarakat melalui umpan balik (feedback) dari masyarakat itu sendiri.
19. Menurut Derrida pemikiran “ada” sebagai kehadiran yang juga disebut olehnya sebagai metafisik. Selain itu kehadiran dihubungkan dengan tanda untuk menggantikan yang tidak hadir dan tanda sebagai bekas. Jika dihubungkan, kehadiran timbul sebagai efek bekas. Kumpulan hubungan tersebutlah yang disebut “teks” oleh Derrida yang selalu berkaitan dengan teks yang lain.
20. Teori kritis digunakan untuk menguji suatu pendapat. Selain itu mengetahui kebenaran dari suatu pendapat, sebagai penyeimbang dari teori-teori yang ada.
http://marthinoes.blogspot.com/2009/07/pertanyaan-teori-sosiologi-kritis.html
IBNU Khaldun mencetus pemikiran baru apabila menyatakan sistem sosial manusia berubah mengikut kemampuannya berfikir, keadaan muka bumi persekitaran mereka, pengaruh iklim, makanan, emosi serta jiwa manusia itu sendiri.
Beliau juga berpendapat institusi masyarakat berkembang mengikut tahapnya dengan tertib bermula dengan tahap primitif, pemilikan, diikuti tahap peradaban dan kemakmuran sebelum tahap kemunduran.
Pandangan Ibnu Khaldun dikagumi tokoh sejarah berketurunan Yahudi, Prof Emeritus Dr Bernerd Lewis yang menyifatkan tokoh ilmuwan itu sebagai ahli sejarah Arab yang hebat pada zaman pertengahan.
Felo Amat Utama Akademik Institut Antarabangsa Pemikiran dan Ketamadunan (Istac), Universiti Islam Antarabangsa Malaysia (UIAM), Muhammad Uthman El-Muhammady pula melihat pendekatan Ibnu Khaldun secara sejagat.
Sumbangan Ibu Khaldun, perintis ilmu sosiologi moden dapat disaksikan melalui siri Ilmuwan Islam di TV3, malam ini.
Episod kali ini yang diterbitkan Mohd Fasil Mohd Idris, bakal membawa penonton mengenali lebih dekat ilmuwan kelahiran Tunisia yang banyak menghasilkan karya untuk rujukan umat Islam dan bangsa lain masa kini.
Dilahirkan di Tunisia, keluarga Ibnu Khaldun sebenarnya berasal dari wilayah Seville, Sepanyol, ketika dalam pemerintahan Islam.
Ketika zaman kanak-kanak, beliau mempelajari al-Quran daripada orang tuanya sebelum melanjutkan pengajian ke peringkat tinggi sambil dibantu sejarawan dan ulama Tunisia serta Sepanyol.
Pada 1375, beliau berhijrah ke Granada, Sepanyol kerana mahu melarikan diri daripada kerajaan di Afrika Utara.
Bagaimanapun, keadaan politik Granada tidak stabil, lantas mendorong beliau untuk merantau ke Aljazair (bahagian utara Semenanjung Tanah Arab). Di sini, beliau tinggal di kampung kecil iaitu Qalat Ibnu Salama.
Di situ juga beliau menghasilkan beberapa karya terkenal termasuk al Ibar Wa Diwan al-Mubtad Wa al-Khabar. Kitab ini mengandungi enam jilid dan paling terkenal, kitab Mukaddimah.
Sehingga kini kitab itu menjadi rujukan umat Islam, khususnya dalam ilmu kajian sosial, politik, falsafah dan sejarah.
Kitab Mukaddimah menghuraikan beberapa peristiwa dalam kehidupan masyarakat, proses pembentukan negara, faktor kemajuan serta kemunduran, selain menerangkan beberapa perkara yang berkaitan bidang perniagaan, perindustrian dan pertanian.
Karya Ibnu Khaldun yang menakjubkan itu membolehkan beliau digelar sebagai Prolegomena atau pengenalan kepada pelbagai ilmu perkembangan kehidupan manusia di kalangan ilmuwan Barat.
Dalam pada itu, Ibnu Khaldun mengutarakan pandangannya bagi memperbaiki kesilapan dalam kehidupan menjadikan karya beliau seumpama ensiklopedia yang mengisahkan pelbagai perkara dalam kehidupan sosial manusia.
Kajian yang dilakukan Ibnu Khaldun bukan hanya mencakupi kisah kehidupan masyarakat ketika itu, malah merangkumi sejarah umat terdahulu.
Selain sebagai ilmuwan dalam bidang sosial, Ibnu Khaldun, mampu mentadbir dengan baik apabila dilantik sebagai kadi ketika menetap di Mesir.
Kebijaksanaannya mendorong Sultan Burquq iaitu Sultan Mesir ketika itu memberi gelaran Waliyuddin kepada Ibnu Khaldun.
Ibnu Khaldun juga memajukan konsep ekonomi, perdagangan, kebebasan dan terkenal kerana hasil kerjanya dalam bidang sosiologi, astronomi, numerologi, kimia serta sejarah.
Beliau membangunkan idea bahawa tugas kerajaan hanya terhad kepada mempertahankan rakyatnya daripada keganasan, melindungi harta persendirian, menghalang penipuan dalam perdagangan dan menguruskan penghasilan wang.
Pemerintah juga melaksanakan kepemimpinan politik bijaksana dengan perpaduan sosial dan kuasa tanpa paksaan.
Dari segi ekonomi, Ibn Khaldun memajukan teori nilai dan hubung kaitnya dengan tenaga buruh, memperkenalkan pembahagian tenaga kerja, menyokong pasaran terbuka, menyedari kesan dinamik permintaan dan bekalan ke atas harga dan keuntungan.
Beliau turut menyokong perdagangan bebas dengan orang asing, dan percaya kepada kebebasan memilih bagi membenarkan rakyat bekerja keras untuk diri mereka sendiri.
Wacana atau pemikiran Ibnu Khaldun turut diterjemah ke dalam kehidupan masyarakat moden yang mahu mengimbangi pembangunan fizikal dan spiritual seperti Malaysia yang sedang menuju status negara maju.
Secara teorinya, ilmu itu dikaitkan dengan soal manusia dalam masyarakat dan ahli sosiologi berharap ilmu berkenan dapat menjalinkan perpaduan serta membentuk penawar kepada krisis moral yang dihadapi masyarakat hari ini.
Istilah sosiologi walaupun dicipta tokoh kelahiran Perancis abad ke-19, Aguste Comte, kajian mengenai kehidupan sosial manusia sudah dihurai oleh Ibnu Khaldun dalam kitabnya Muqaddimah, 500 tahun lebih awal, pada usianya 36 tahun
http://perpustakaan-online.blogspot.com/2008/04/tokoh-sosiologi-modern-ibnu-khaldun.html]
I. PENGANTAR Tulisan ini telah menyita perhatian karena telah merubah cara kita berpikir tentang teori-teori sosial dan kita berharap bahwa kita akan berlaku sama untuk yang lain. Tulisan ini menjelaskan dan membantu mengatasi apa yang kiranya menjadi sumber utama kebingungan dalam ilmu-ilmu sosial pada saat sekarang. Pada awalnya tulisan ini hanya bermaksud menghubungkan teori-teori organisasi dalam konteks kemasyarakatan yang lebih luas. Tetapi, dalam wacana yang lebih luas, tulisan ini sekaligus juga mencakup banyak aspek dari filsafat dan teori sosial secar umum.
Dalil kami adalah bahwa teori sosial dapat secara mudah dipahami dari empat kunci paradigma, yang didasarkan atas perbedaan anggapan metteori tentang sifat dasdar ilmu sosial dan sifat dasar dari masyarakat. Empat paradigma itu dibangun atas pandangan-pandangan yang berbda mengenai dunia soisal. Masing-masing pendirian menghasilkan (melahirkan) analisanya sendiri-sendiri mengenai kehidupan sosial. Masing-masing paradigma melahirkan teori-teori dan pandangan-pandangan yang didalamnya terdapat pertentangan fundamental yang ditimbulkan dalam paradigma lainnya.
Sejumlah analisa-analisa teori sosial telah membawa kita berhadap-hadapan langsung dengan sifat dari asumsi-asumsi yang mengandung perbedaan pendekatan pada ilmu sosial.
II. ASUMSI-ASUMSI DASAR ILMU SOSIAL
Tesis utama dalam tulisan ini adalah bahwa semua teori tentang masyarakat didasarkan pada (atas) filsafat ilmu dan teori sosial tertentu. Filsafat dan teori ilmu sosial selalu mengandung empat anggapan dasar (asumsi): ontologis, epistemologis, pandangan tentang manusia (human nature), dan metodologi. Semua pakar ilmu sosial mendekati pokok kajian mereka dengan asumsi-asumsi (baik eksplisit maupun implisit) mengenai dunia sosial dan cara dimana dunia sosial diteliti.
Asumsi Ontologis / Hakekat sesuatu
Asumsi ini memperhatikan inti dari fenomena yang diamati. Para pakar ilmu sosial misalnya dihadapkan pada pertanyaan dasar ontologis: apakah realitas diteliti sebagai suatu yang berada di luar diri manusia yang merasuk ke dalam alam kesadaran seseorang; ataukah merupakan hasil dari kesadaran seseorang? Apakah realitas itu merupakan keadaan yang obyektif atau hasil dari pengetahuan seseorang (subyektif)? Apakah realitas itu memang sesuatu yang sudah ada (given) di luar pikiran seseorang atau hasil dari pikiran seseorang.
Asumsi Epistemologis / Memperoleh kebenaran
Ini berkaitan dengan anggapan-anggapan dasar mengenai landasan ilmu pengetahuan, yaitu bagaimana seseorang mulai memahami dunia sosial dan mengkomunikasikannya sebagai pengetahuan kepada orang lain. Anggapan dasar ini berkaitan juga dengan bentuk-bentuk pengetahuan apa saja yang bisa didapat dan bagaimana seseorang memilah-milah mana yang dikatakan “benar” dan “salah”. Dikotomi benar dan salah itu sendiri menunjukkan pendirian atau sikap epistemologi tertentu. Didasarkan atas pandangan tentang sifat ilmu pengetahuan itu sendiri: apakah misalnya mungkin mengenal dan mengkomunikasikan sifat ilmu pengetahuan sebagai sesuatu yang wujud nyata dan dapat disebarkan atau diteruskan dalam bentuk nyata; atu apakah ilmu pengetahuan itu merupakan sesuatu yang lebih halus (tidak berujud), lebih mempribadi, bersifat rohaniah dan bahkan mengatasi kenyataan (transendental) yang lebih didasarkan pengalaman dan pengetahuan pribadi yang unuk dan hakiki? Di sini epistemologi menentukan posisi yang ekstrim: apakah pengetahuan itu sesuatu yang dapat diperoleh (dipelajari) dari orang lain atau sesuatu yang dimiliki atas dasar pengalaman pribadi.
Asumsi Hakekat Manusia
Ini terutama mengenai hubungan antara manusia dengan lingkungannya. Semua ilmu sosial secara jelas harus didasarkan pada asumsi ini, karena kehidupan manusia hakekatnya adalah subyek sekaligus obyek dari pencarian dan penemuan pengetahuan. Kita dapat mengindentifikasi pandanngan ilmu sosial, yang mengandung pandangan manusia dalam menanggapi keadaan-keadaan di luar dirinya secara mekanistik atau deterministik. Pandangan ini mengarahkan manusia bahwa manusia dan pengalamnnya dihasilkan oleh lingkungan, manusia dibentuk oleh keadaan sekitar di luar dirinya. Pandangan ini dipertentangkan dengan anggapan bahwa manusia memiliki peran penciptaan yang lebih besar, memiliki kemauan bebas (free will), menduduki peran kunci, bahwa seseorang adalah pencipta lingkungan sekitarnya, pengendali dan bukan dikendalikan, sebagai dalang (master) bukan wayang (marionette). Dalam dua pandangan ekstrim ini.
Asumsi Metodologis
Anggapan-anggapan dasar tersebut memiliki konsekuensi penting dalam hal cara seseorang menemukan pengetahuan tentang dunoia sosial. Perbedaan asumsi ontologis, epistemologis, dan asumsi kecenderungan manusia akan membawa ahli ilmu sosial ke arah perbedaan metodologis, bahlkan di kalangan ahli ilmu alam tradisional sekalipun yang jurang perbedaan mereka sangat tipis. Menelusuri metodologi yang digunakan kedua kubu itu sangatlah mungkin. Penganut paham ekstrim pertama, analisisnya akan dipusatkan pada hubungan-hubunhan dan tatanan-tatanan antara berbagai unsur yang membentuk masyarakat dan menemukan cara yang dapat menjelaskan hubungan (relationship) dan keteraturan (regularity). Cara ini merupakan upaya mencari hukum-hukum yang dapat diberlakukan secara umum untuk menjelaskan kenyataan sosial. Penganut pandangan kedua, upayanya terarah pada berbagai masalah masayarakat yang berbeda dan dipahami dengan cara berbeda pula. Upayanya terpusat memahami cara seseorang menafsirkan, merubah dan membentuk dunia di mana ia berada. Tekanannya pada pemahaman dan pengertian khas dan unik setiap orang pada kenyataa yang umum. Menekankan sifat kenisbian kenyataan sosial. Pendekatan ini sering dianggap “tidak ilmiah” oleh penganut kaidah-kaidah ilmu pengetahuan sosial.
III. BAGAN ASUMSI-ASUMSI DASAR ILMU SOSIAL (DIMENSI SUBYEKTIF-OBYEKTIF)
Nominalisme – Realisme : Debat Ontologis
Kaum nominalis beranggapan bahwa realitas sosial yang dianggap merupakan sesuatu yang berada di luar diri seseorang hanyalah sekedar nama-nama (names), konsep atau label yang digunakan menjelaskan realitas sosial. Mereka tidak menerima adanya kenyataan masyarakat di manapun yang benar-benar dapat dijelaskan oleh konsep semacam itu. Penamaan itu hanyalah rekaan saja untuk menjelaskan, emberi pengertian dan memahami realitas. Nominalisme sering disejajarkan dengan paham konvensionalisme. Keduanya sulit dibedakan.
Realisme beranggapan bawa realita sosial sebagai sesuatu di luar diri seseorang, merupakan kenyataan yang berujud, dapat diserap, dan merupakan tatanan nisbi yang tetap. Realitas itu ada, berwujud sebagai keutuhan yang dapat dialami (empirical entities). Mungkin kita saja yang belum menyadari dan belum memiliki penamaan atau konsep untuk menjelaskannya. Kenyataan sosial ada terpisah (independen) dari pemahaman seseorang terhadapnya. Orang dilahirkan dan kenyataan sudah ada di luar dirinya, bukan berarti orang itu yang menciptakannya. Realitas ada mendahului keberadaan dan kesadaran seseorang terhadapnya.
Anti-positivisme – Positivisme: Debat Epistemologis
Sebutan “kaum positivis” sama seperti “kaum Borjuis” berkesan sentimen dari suatu pandangan tertentu. Istilah itu digunakan di sini untuk mengidentifikasi sikap atau pendirian epistemologis tertentu. Istilah positivisme sering dicampuradukkan dengan “empirisme”, ini mengeruhkan beberapa pengertian pokok dan bernada olok-olok.
Pendirian epistemologis kaum positivis didasarkan pada pendekatan tradisional yang digunakan dalam ilmu alam. Perbedaannya hanya dalam istilah yang digunakan. Hipotesa mengenai tatanan sosial dapat dibuktikan kebenarannya melalui penelitian eksperimental; tetapi sering juga jipotesa itu keliru dan tak pernah dapat dibuktikan kebenarannya. Kaum verifikasionis (ingin membuktikan kebenaran) dan falsisikasionis (ingin membuktikan kekeliruan) hipotesa tentang tatanan sosial sependapat bahwa pengetahuan hakekatnya merupakan proses kumulatif dimana pemahaman-pemahaman baru diperoleh sebagai tambahan atas kumpulan pengetahuan atau penghapusan atas hipotesa salah yang pernah ada.
Pendirian epistemologis kaum anti-positivis beragam jenisnya, yang semuanya tidak menerima berlakunya kaidah-kaidah atau menegasdkan tatanan sosial tertentu terhadap semua peristiwa sosial. Realitas sosial adalah nisbi, hanya dapat dipahami dari pandangan orang-perorang yang langsung terlibat dalam peristiwa sosial tertentu. Mereka menolak kedudukan sebagai “pengamat” seperti layaknya kedudukan kaum positivis. Seseorang hanya bisa “mengerti” melalui kerangka berpikir orang yang terlibat langsung atau diri mereka sendiri sebagai peserta atau pelaku dalam tindakan. Seseorang hanya bisa mengerti dari sisi dalam, bukan dari luar realitas sosial. Karena itu, ilmu sosial bersifat subyektif dan menolak anggapan bahwa ilmu pengetahuan dapat ditemukan sebagai pengaetahuan tentang apa saja.
Volunterisme – Determinisme : Debat Hakekat Manusia
Kaum determinis menganggap bahwa manusia ditentukan oleh keadaan lingkungan sekitar dimana ia berada. Kaum volunteris beranggapan manusia sepenuhnya pencipta dan berkemauan bebas. Kedua anggapan ini merupakan unsur paling hakiki dalam teori ilmu sosial.
Ideografis – Nomotetis: Debat Metodologis
Pendekatan ideografis mengatakan bahwa seseorang hanya dapat memahami kenyataan sosial melalui pencapaian pengetahuan langsung dari pelaku atau orang yang terlibat dalam peristiwa sosial. Pendekatan ini menekankan analisisnya secara subyektif dengan cara masuk ke dalam keadaan dan melibatkan diri dalam kehidupan sehari-hari. Hubungan langsung sedelkat mungkan dengan memahami sejarah hidup dan latar belakang para pelaku sangat penting dalam pendekatan ini. Masalah yang diteliti dibirkan muncul apa adanya.
Pendekatan nomotetis mementingkan adanya seperangkat teknik dan tata cara sistematik dalam penelitian, seperti metode ilmu alam dengan mengutamakan proses pengujian hipotesa dengan dalil-dalil yang baku. Cara ini juga mengutamakan teknik-teknik kuantitatif untuk menganalisis data. Survei, angket, tes kepribadian dan alat-alat baku yang sering digunakan dalam metodologi nomotetis.
IV. ANGGAPAN-ANGGAPAN DASAR MENGENAI SIFAT ILMU SOSIAL
Ada dua tradisi pemikiran besar yang mewarnai perkembangan ilmu sosial selama lebih duaratus tahun terakhir. Pertama adalah sosiologi positivisme. Aliran ini mewakili pandangan yang berusaha menerapkan cara dan bentuk penelitian ilmu alam ke dalam pengkajian peristiwa sosial atau kemanusia. Realitas sosial disamakan dengan realitas alam. Meniru kaum realis dalam ontologinya, kaum positivis dalam epistemologinya, pandangan deterministik mengenai sifat manusia dan nomotetis dalam metodologinya.
Tradisi kedua adalah idealisme Jerman, berlawanan dengan yang pertama. Aliran ini menyatakan bahwa realitas tertinggi bukan kenyataan lahir yang dapat dilihat oleh indera, tetapi “ruh” atau “gagasan”. Karena itu, ontologinya nominalis, epistemologinya anti-positivis damana sifat subyektifitas dari peristiwa kemanusiaan lebih penting dan menolak cara dan bentuk penelitian ilmu alam, berpandangan volunteris terhadap fitrah manusia, dan menggunakan pendekatan ideografis dalam analisis sosialnya.
Sejak 70 tahun terakhir telah mulai bersentuhan antara kedua tradisi besar terutama di bidang filsafat sosial. Jalan tangan dari kedua kutub memunculkan bebrapa pemikiran baru seperti fenomenologis, etnometodologi dan terori-teori aksi. Aliran tengah ini sealin menyatakan pendiriannya sendiri sering juga menentang aliran sosiologi positivisme. Aliran-aliran ini dapat dipahami dengna baik dengan mengenali perbedaan-perbedaan anggapan dasarnya masing-masing.
V. ANGGAPAN-ANGGAPAN DASAR TENTANG HAKEKAT MASYARAKAT
Semua pendekatan dalam mengkaji masyarakat didasarkan pada kerangka berpikir, pandangan dan anggapan-anggapan dasar tertentu.
Debat Ketertiban – Pertentangan (Order-Conflict Debate)
Dahrendorf (1959) dan Lockwood (1956) mengadakan pembedaan pendekatan sosiologi dalam dua pandangan: pandangan tentang sifat keseimbangan dan ketertiban sosial dan pandangan mengenai perubahan, pertentangan dan pemaksaan suatu tatanan masyarakat. Yang pertama penganutnya jauh lebih banyak dari kedua. Menurut Dawe, yanhg pertama merupaka teori sosial. Cohen (1968), Silverman (1970), Van den Bergh (1969) mwnganggap perdebatan itu semu dan tidak ada gunanya. Coser (1956) memandang pertentangan sosial berfungsi penting untuk mnenjelaskan ketertiban sosial sehingga perlu dijadikan ragam dalam teori sosial.
Cohen (1968), berdasarkan anggapan dasarnya mengenai corak sistem sosial, menyebutkan bahwa corak sistem sosial yang tertib ditandai oleh: perjanjian bersama (commitment), kerapatan (cohesion), kesetiakawanan (solidarity), kesepakatan (consensus), imbal balik (reciprocity), kerjasama (coorperation), keterpaduan (integration), ketetapan (stability), dan kekukuhan (persitence). Corak pertentangan sosial ditandai pemaksaan (coercion), pemisahan (division), percekcokan (hostility), ketidaksepakatan (dissensus), pertentangan (conflict), ketidakpaduan (malintegration) dan perubahan (change).
Ketertiban dan Pertentangan
Selanjutnya ia mengatakan bahwa Dahrendorf keliru karena membuat pemisahan antara ketertiban dan pertentangan, padahal sangat mungkin teori sosial menggabungkan unsur-unsur kedua corak masyarakat, sehingga tidk perlu diperdebatkan.
Tahun 1960-an lahir gerakan budaya penentang (counter-culture movement). Tahun 1968 revolusi Perancis gagal, maka sosiolog kemudian beralih dari kajian-kajian tentang tatanan (struktur) masyarakat ke kajian-kajian perseorangan. Gerakan kaum subyektivis dan teori aksi semakin diminati sehingga perdebatan ketertiban dan pertentangsan sosial terbenam kalah, debat fisafat dan metode ilmu sosial kian marak. Dengan tenggelamnya perdebatan itu maka pakar sosial merupakan karya Marx dan cenderung melirik Weber, Durkheim dan Pareto yang cenderung mengkaji satu sisi dari masyarakat, yaitu ketertiban sosial. Karena itu sangatlah penting menghidupkan kembali debat ketertiban sosial. Karena itu sangatlah penting menghidupkan kembali debat ketertiban dan pertentangan karena apa yang disebut “kesepakatan sosial” bisa jadi hasil penggunaan kekuatan yang memaksa.
Wright Mills (1959) menyatakan bahwa apa yang dikatakan Parson tentang “orientasi nilai” (value orientation) dan “tatanan nilai” (normative structure) hanyalah perlambangan untuk legitimasi kekuasaaan. Dahrendorf menyebutnya kesepakatan sebagai sistem mengesahkan tatanan kekuasaan, sedang Mills menyebutnya “penguasaan” (domination).
Analisa ketertiban sosial diwakili oleh teori-teori fungsional yang cenderung meladeni kepentingan kekuasaan, bersifat statis dalam arti ingin melanggengkan kemapanan (status quo). Teori pertentangan justru bertujuan menjelaskan proses dan sifat perubahan struktural paling mendasar dalam masyarakat. Yang ingin dituju adalah terjadinya transformasi masyarakat secara radikal.
Banyak analisis tentang ketertiban dan pertentangan ini sering salah tafsir, terjebak dan membuat pengertian menjadi suram tentang perbedaan mendadsar keduanya. Oleh karena diusulkan adanya perubahan-perubahan tertentu yang lebih tegas dan radikal dalam menganalisis keduanya, maka digantilah peristilahan yang lain sama sekali yakni: keteraturan (regul;ation) dan perubahan radikal (radical change).
VI. KETERATURAN VS PERUBAHAN RADIKAL
Istilah ini diusulkan karena telah terjadi banyak ketidakjelasan dalam membedakan corak ketertiban dan pertentangan sosial. Istilah keteraturan menunjuk pada teori sosial yang menekankan pentingnya kesatuan (unity) dan kerapatan (cohesiveness). Teori ini mendambakan adanya keteraturan dalam peristiwa kemanusiaan. Istilah perubahan radikal sarat dengan keinginan menjelaskan tentang perubahan-perubahan radikal dalam masyarakat, pertentangan-pertentangan yang mendasar dalam masyarakat, bentuk-bentuk penguasaan yang menandai masyarakat modern. Pandangan ini bertujuan membebaskan manusia dari berbagai struktur (tatanan) masyarakat yang membatasi dan menghalangi potensinya untuk berkembang. Pertanyaan-pertanyaan dasarnya adalah masalah harkat manusia, baik fisik maupun kejiwaan. Pandangan ini utopis, memandang ke depan, menanyakan apa yang mungkin dan bukan sekadar apanya saja, melihat kemungkinan berbeda dari sekadar kemapanan.
VII. DUA DIMENSI, EMPAT PARADIGMA
Sejak 1960-an telah terjadi banyak aliran pemikiran sosiologi bermunculan. Dalam perkembangannya berbagai pemikiran dasar sosiologi justru menjadi kabur. Pada awal 1970-1n telah terjadi kebuntuan dalam perdebatan sosiologi baik mengenai sifat ilmu sosial dan sifat masyarakat seperti halnya terjadi pada 1960-1n. Untuk menembus kebuntuan itu diusulkan untuk menampilkan kembali beberapa unsur penting dari perdebatan yang terjadi pada 1960-an dan cara baru dalam menganalisis empat paradigma sosiologi yang berbeda. Empat paradigma itu ialah: humanis radikal, strukturalis radikal, interpretatif, fungsionalis.
Paradigma Teori Sosial
Keempat paradigma tampak berhampiran satu sama lain tetapi tetap pada pendirian masing-masing, karena memang dasar pemikirannya berbeda secara mendasar.
Sifat dan Kegunaan Empat Paradigma
Paradigma diartikan sebagai anggapan-anggapan meta-teoretis yang paling mendasar yang menentukan kerangka berpikir, cara mengandaikan dan cara bekerjanya para penganut teori sosial yang menggunakannya. Di dalamnya tersirat adanya kesamaan pandangan yang mengikat sekelompok penganut teori dalam cara pandang dan cara kerja yang sama dalam batas-batas pengertian yang sama pula. Jika ilmuwan sosial telah menggunakan paradigma tertentu, maka berarti memandang dunia dalam satu cara yang tertentu pula. Sehingga di sini ada empat pandangan yang berbeda mengenai sifat ilmu pengetahuan dan sifat masyarakat yang didasarkan pada anggapan-anggapan meta-teoretis.
Empat paradigma itu merupakan cara mengelompokkan cara berpikir seseorang dalam suatu teori sosial dan merupakan alat untuk memahami mengapa pandangan-pandangan dan teori-teori tertentu dapat lebih menampilkan setuhan pribadi di banding yang lain. Demikian juga alat untuk memetakan perjalanan pemikiran teori sosial seseorang terhadap persoalan sosial. Perpindahan paradigma sangat dimungkinkan terjadi, dan ini revolusi yang sama bobotnya dengan pindah agama. Hal ini pernah terjadi pada Marx yang dikenal Marx tua dan Marx muda, perpindahan dari humanis radikal ke strukturalis radikal. Ini disebut “perpecahan epistemologi” (epistemological break). Juga terjadi pada diri Silverman, dari fungsionalis ke interpretatif.
Paradigma Fungsionalis
Paling banyak dianut di dunia. Pandangannya berakar kuat pada tradisi sosiologi keteraturan. Pendekatannya terhadap permasalahan berakar dari pemikiran kaum obyektivis. Memusatkan perhatian pada kemapanan, ketertiban sosial, kesepakatan, keterpaduan sosial, kesetiakawanan, pemuasan kebutuhan dan hal-hal yang nyata (empirik). Condong realis dalam pendekatannya, positivis, determinis dan nomotetis. Rasionalitas diutamakan dalam menjelaskan peristiwa sosial, berorientasi pragmatis artinya berusaha melahirkan pengetahuan yang diterapkan, berorientasi pada pemecahan masalah yakni langka-langkah praktis untuk pemecahan masalah praktis juga. Mendasarkan pada filsafat rekayasa sosial untuk dasar bagi perubahan sosial, menekankan pentingnya cara-cara memelihara dan mengendalikan keteraturan sosial. Berusaha menerapkan metode ilmu alam dalam pengkajian masalah kemanusiaan.
Paradigma ini mulai di Perancis pada dasawarsa pertama abad ke-19 dibentuk karena pengaruh karya August Comte, Herbert Spencer, Emile Durkheim dan Wilfredo Pareto. Aliran ini mengatakan: realitas sosial terbentuk oleh sejumlah unsur empirik nyata yang hubungan semua unsurnya dapat dikenali, dikaji, diukur dengan cara dan menggunakan alat seperti dalam ilmu alam. Menggunakan kias ilmu mekanikan dan biologi untuk menjelaskan realitas sosial sangan biasa dalam aliran ini.
Sejak awal abad ke-20, mulai dipengaruhi oleh tradisi pemikiran idealisme Jerman seperti karya Max Weber, George Smmel dan George Herbert Mead. Banyak kaum fungsionalis mulai meninggalkan rumusan teoretis dari kaum obyektivitas dan memulai persentuhan dengan paradigma interpretatif. Kias mekanika dan biologi mulai bergeser ke pandangan para pelaku langsung dalam proses kegiatan sosial. Pada 1940-an, pemikiran sosiologi perubahan radikal mulai menyusupi kubu kaum fungsionalis untuk meradikalisasi teori-teori fungsionalis. Sungguh pun telah terjadi persentuhan dengan paradigma lain, paradigma fungsionalis tetap saja secara mendasar menekankan pemikiran obyektivitas tentang realitas sosial untuk menjelaskan keteraturan sosial. Karena persentuhan dengan paradigma lain itu maka sebenarnya telah lahir beragam pemikiran yang berbeda dalam paham fungsionalis.
Paradigma Interpretatif
Kubu ini sebenarnya menganut ajaran-ajaran sosiologi keteraturan, tetapi mereka menggunakan pendekatan subyektivitas dalam analisa sosialnya, sehingga hubungan mereka dengan sosiologi keteraturan bersifat tersirat. Mereka ingin memahami kenyataan sosial menurut apa adanya, mencari sifat yang paling dasar dari kenyataan sosial menurut pandangan subyektif dan kesadaran seseorang yang langsung terlibat dalam peristiwa sosial bukan menurut orang lain yang mengamati.
Pendekatannya cenderung nominalis, anti-positivis dan ideografis. Kenyataan sosial muncul karena dibentuk oleh kesadaran dan tindakan seseorang. Karenanya mereka berusaha menyelami jauh ke dalam kesadaran dan subyektifitas pribadi manusia untuk menemukan pengertian apa yang ada di balik kehidupan sosial.
Sungguhpun demikian, anggapan-anggapan dasar mereka masih tetap didasarkan pada pandangan bahwa manusia hidup serba tertib, terpadu dan rapat, kamapanan, kesepakatan, kesetiakawanan. Pertentangan, penguasaan, benturan sama sekali tidak menjadi agenda kerja mereka. Mereka ini terpengaruh langsung oleh pemikiran sosial kaum idealis Jerman, yang berasal dari pemikiran Kant yang lebih menekankan sifat hakekat rohaniah daripada kenyataan sosial. Perumus teori ini antara lain Dilthey, Weber, Husserl, dan Schutz.
Paradigma Humanis Radikal
Para penganutnya berminat mengembangkan sosiologi perubahan radikal dari pandangan subyektifis. Pendekatan terhadap ilmu sosial sama dengan kaum interpretatif yaitu nominalis, anti-positivis, volunteris dan ideografis. Arahnya berbeda, yaitu cenderung menekankan perlunya menghilangkan atau mengatasi berbagai pembatasan tatanan sosial yang ada.
Pandangan dasarnya yang penting adalah bahwa kesadaran manusia telah dikuasai atau dibelenggu oleh suprastruktur ideologis yang ada di luar dirinya yang menciptakan pemisah antara dirinya dengan kesadarannya yang murni (aliensi), atau membuatnya dalam kesadaran palsu (false consciousness) yang menghalanginya mencapai pemenuhan dirinya sebagai manusia sejati. Karena itu agenda utamanya adalah memahami kesulitan manusia dalam membebaskan dirinya dari semua bentuk tatanan sosial yang menghambat perkembangan manusia sebagai manusia. Penganutnya mengecam kemapanan habis-habisan. Proses-proses sosial dilihat sebagai tidak manusiawi. Untuk itu mereka ingin memecahkan masalah bagaiman manusia bisa memutuskan belenggu-belenggu yang mengikat mereka dalam pola-pola sosial yang mapan utnuk mencapai harkat kemanusiaannya. Meskipun demikian masalah-masalah pertentangan struktural belum menjadi perhatian mereka.
Paradigma Strukturalis Radikal
Penganutnya juga memeprjuangkan sosiologi perubahan radikal tetapi dari sudut pandang obyektifitas. Pendekatan ilmiahnya memeiliki beberapa persamaan dengan kaum fungsionalis, namun mempunyai tujuan akhir yang saling berlawanan. Analisanya lebih menekankan pada pertentangan struktural, bentuk-bentuk penguasaan dan pemerosotan harkat kemanusiaan. Karenanya pendekatannya cendserung realis, positivis, determinis dan nomotetis.
Kesadaran manusia dianggap tidak penting. Hal yang lebih penting adalah hubungan-hubungan struktural yang terdapat dalam kenyataan sosial yang nyata. Mereka menekuni dasar-dasar hubungan sosial dalam rangka menciptakan tatanan sosial baru secara menyeluruh. Penganu paradigma ini terpecah dalam dua perhatian, pertma lebih tertarik untuk menjelaskan bahwa kekuatan sosial yang berbeda-beda serta hubungan antar kekuatan sosial merupakan kunci untuk menjelaskan perubahan sosial. Sebagian mereka lebihbtertarik padaa keadaan penuh pertentangan dalam suatu masyarakat. Paradigma ini diilhami oleh pemikiran Marx tua setelah terjadinya perpecahan epistemologi dalam sejarah pemikiran Marx, selain pengaruh Weber. Paradigma inilah yang menjadi bibit lahirnya teori sosiologi radikal. Penganutnya antara lain Althusser, Polantzas, Colletti, dan beberapa penganut kelompok kiri baru.
http://azmuharam.blogspot.com/2009/03/teori-sistem-sosial-parsonians.html

tokoh

 Mengapa saya memilih Barack Obama dan Cut Nyak Dien menjadi tokoh terfavorit saja :

 Barack Obama : Bagi saya Barack Obama adalah seorang tokoh yang patut kita teladani karena kecerdasannya yang luar biasa akhirnya Barack Obama mampu berkancah di dunia perpolitikan dan juga Barack adalah seorang yang mempunyai jiwa sosial yang tinggi dan sangat peduli terhadap kehidupan disekitarnya. Maka dari itu kita bisa mengambil nilai-nilai yang melekat pada diri Barack obama yaitu kita harus lebih giat untuk belajar lagi agar kita bisa mewujudkan impian kita dimasa depan dan juga kita harus selalu memperhatikan kehidupan sosial dilingkungan kita agar kehidupan selalu harmonis, tenteram dan lebih bermakna.

 Cut Nyak Dien : Bagi saya Cut Nyak Dien adalah seorang tokoh yang patut kita teladani juga walaupun dia seorang wanita, karena ketangguhan dan kegigihannya dalam melawan kaum imperialis yang tidak kenal kompromi dan keputus-asaan membuat banyak orang segan terhadap beliau. Cut Nyak Dien juga terkenal berhati baja tapi walaupun begitu wanita ini mempunyai agama yang kuat dan dalam urusan keluarga juga dia perioritaskan hal ini terbukti kuat adanya karena Cut Nyak Dien selalu belajar bagaimana cara-cara menghadapi seorang suami, belajar memasak, dan juga belajar segala sesuatu yang menyangkut kehidupan sehari-hari seperti wanita pada umumnya. Maka dari itu kita bisa mengambil nilai-nilai yang melekat pada diri Cut Nyak Dien terutama bagi wanita, walaupun wanita itu ibarat makluk yang lebih lemah dibanding dengan laki-laki tetapi kalau kita bisa melihat hikmah yang terkandung pada diri Cut Nyak Dien maka pada dasarnya wanita ataupun laki-laki itu mempunyai kelebihan yang hampir setara dan para wanita juga bisa melakukan apa yang bisa dilakukan oleh kaum laki-laki selain diluar tanggungjawabnya sebagai seorang ibu.